Dari dulu selalu penasaran rasa balut. Bentuknya aja termasuk aneh dibanding makanan pada umumnya. Apalagi ketika Gw cari tau asal & cara pembuatannya. Sebenarnya gimana sih rasanya telur yang hampir jadi anak ayam?
Sebelum mencari balut, Gw mencari Jolibee terlebih dulu sesampainya di bandara Ninoy Aquino untuk sarapan. Penasaran juga dengan fast-food asal Filipina ini dan ternyata rasanya biasa aja hehe.
![]() |
Disambut sunrise |
![]() |
Spicy tapi ga pedas |
Sehabis sarapan Jolibee, Gw menuju tujuan pertama yakni Intramuros. Kawasan bersejarah peninggalan Spanyol ini dapat ditempuh dalam 45 menit dengan taksi. Tidak sulit memesan taksi di Manila karena aplikasi Grab tersedia di sini. Gw menghubungkan aplikasi dengan kartu kredit supaya pembayaran lebih praktis.
Katedral Manila merupakan tujuan Gw selanjutnya setelah mengelilingi Fort Santiago. Biarpun kawasan ini termasuk tujuan turis dan ramai pedagang kaki lima di sekitarnya tapi Gw belum melihat ada penjual balut. Gw memutuskan untuk mencari makan siang dulu dan menuju Cafe Adriatico.
Cafe yang sudah berdiri dari 1980 ini jaraknya sekitar 3 km dari katedral dan Gw memutuskan untuk berjalan kaki supaya bisa sekalian melihat-lihat. Dalam perjalanan Gw sadar baterai HP sudah low. Sebenarnya Gw bawa powerbank tapi lebih baik kalau mampir sebentar ke kedai kopi sekalian mengisi daya baterai. Selalu ada alasan kan untuk ngopi hehe.
Sialnya, bentuk lubang stopkontak di kedai kopi itu ga cocok dengan colokan charger atau converter yang Gw bawa. Yang penting ngopi dulu deh.
Ga jauh dari kedai kopi, ada minimarket dan ada penyewaan powerbank. Gw tertarik untuk coba (lagi-lagi) dengan motivasi bisa sambil ngopi.
Kuliner di Manila dan Jakarta banyak mempunyai kemiripan, salah satunya halo-halo. Halo-halo adalah es campur kalau di Indonesia. Selain resep, namanya juga sama karena "halo-halo" sendiri artinya campur dalam bahasa Tagalog.
Panasnya cuaca Manila membuat Gw memasukkan halo-halo ke daftar pesan di Cafe Adriatico selain Lola ising's adobo rice. Mantap kan jadinya menunya lengkap, ada dessertnya juga :D
Adobo artinya dimasak kecap atau semur dan karena Lola ising's adobo rice ini terbuat dari babi jadi Lola ising's adobo rice adalah babi kecap yang disajikan dengan nasi. Kuah kecap disajikan terpisah dengan daging, ga seperti di Indonesia yang dicampur. Yang spesial dari menu ini menurut Gw adalah nasinya. Lembutnya daging menyatu dengan nasi yang gurih.
![]() |
Menu andalan Cafe Adriatico : Lola ising's adobo |
Gw sedikit menyesal memesan halo-halo karena ternyata porsi adobo rice banyak banget. Halo-halo-nya juga ukurannya besar. Gw harus menunggu sedikit supaya perut Gw bisa menampung semua halo-halo. Ini di luar ekspektasi Gw, ternyata halo-halo lebih enak dari es campur. Dengan harga 931 PHP (Rp. 260,775) untuk kedua makanan tersebut, Gw rasa masih kemahalan.
![]() |
Seporsi halo-halo untuk melawan panasnya Manila |
Gw masih ga yakin di mana bisa mencari balut. Sebelumnya Gw sudah riset dan Gw simpulkan balut bisa ditemui di mana saja apalagi di sekitar Intramuros. Beberapa teman Gw hubungi untuk membantu Gw karena mereka punya teman orang Filipina (yang mana setelah sampai di Jakarta, Gw baru ingat ada kenalan orang Filipina). Hasilnya nihil.
Gw coba mencari di pasar tradisional tapi tetap nihil. Gw beristirahat sebentar di Jolibee dan memesan spaghetti untuk bekal Gw di bandara. Jadwal penerbangan Gw semakin dekat. Gw memutuskan menyudahi pencarian balut. Gw akan mencarinya di lain waktu dan kemungkinan di lain negara karena meskipun berasal dari Filipina tapi bisa ditemui di negara Asia Tenggara lain termasuk Vietnam. Ini jadi alasan Gw untuk kembali ke Vietnam suatu saat nanti selain memang masih banyak tempat yan perlu dieksplor dari Vietnam dibanding dengan Filipina.
Kembali Gw berjalan kaki menuju suatu tempat di pinggir jalan untuk naik jeepney (Gw lupa namanya karena mendadak cari google Maps). Jeepney merupakan transportasi umum di Filipina yang berbentuk seperti oplet jaman dulu. Jeepney mempunyai trayeknya masing-masing yang digantung dengan plang di kaca depan. Gw melompat ke salah satu jeepney dengan bantuan warga lokal yang memberhentikan jeepney dengan melambaikan tangan. Sudah lama ga naik kopaja, rasanya Gw jadi cupu dan kehilangan bakat naik angkot haha. Apalagi saat itu posisinya di perempatan yang ramai banget.
Seru banget menaiki transportasi yang sudah ada dari Perang Dunia II ini. Jeepney merupakan modifikasi dari mobil militer Amerika Serikat yang berbentuk jeep. Untung aja Gw duduk di depan, dekat supir. Jadi lebih gampang bilang tujuan Gw ke supir dan tentunya bisa memandang ke jalanan di mana Jeepney meliuk-liuk membelah kemacetan Manila dengan ngebut. Sepertinya rute Jeepney fleksibel karena Gw melihat supir tiba-tiba membalikkan plang rute yang digantung dan menggantinya dengan plang lain.
Gw memberikan 16 PHP (Rp. 4,500) dan turun di Edsa, seberang Metro Point Mall. Dari sini Gw lanjut dengan taksi online. Sebenarnya lebih mudah kalau dari pasar tadi Gw langsung naik taksi tapi Gw mau coba jeepney, .
Peso yang Gw bawa masih ada sisa. Gw akan pakai uang ini untuk bayar taksi supaya ga perlu lagi menukarnya dengan rupiah. Salahnya Gw, Gw ga menghitung ulang berapa jumlah uang. Seingat Gw masih cukup. Gw udah terlanjur pilih opsi pembayaran dengan uang tunai di Grab.
Gawat!
Ga mungkin kan Gw narik uang cash atau ke moneychanger dulu padahal cuma kurang dikit? Tapi 70 PHP (Rp. 25,000) ga bisa dibilang sedikit juga. Lagi pula Gw ga mau membuang waktu sehingga Gw jadi terlambat terbang.
Jarak Edsa ke bandara kurang lebih 45 menit. Gw berusaha mengubah pembayaran ke kartu kredit tapi ga semudah itu. Gw ga menyerah, ke moneychanger atau tarik uang tunai adalah jalan terakhir. Entah apa yang Gw klik, Gw harus memilih lokasi tempat tinggal di Filipina. Gw coba pilih Makati, sebuah daerah modern di Manila. Asumsi Gw, pasti selanjutnya diminta alamat lengkap tapi ga! dan pembayaran pun berhasil bertepatan dengan taksi masuk lobi bandara.