kepo bgt nih pandanjing wkwk
Mostly read blog
About Me
Followers
30/07/23
17/01/23
Dinginnya Sa Pa, Vietnam Bagian Utara
Gunung Fansipan
Sa Pa merupakan tujuan utama Gw saat memutuskan untuk ke Vietnam.
Setibanya di bandara Noi Ban, Hanoi, Gw mencari transportasi menuju tempat pemberangkatan bis. Gw memesan ojek online melalui Grab tapi driver memanggil ojek lainnya. Dengan bahasa tubuh, sepertinya driver yang akan mengantar Gw adalah ojek satunya ini. Tentu saja Gw menolak karena alasan keamanan. Gw mau identitas dan plat nomor yang sama dengan yang di aplikasi sehingga kalau terjadi kejadian yang tidak diinginkan bisa lebih mudah di-track. Gw mencoba opsi lain yakni dengan taksi online tapi waktu tunggu yang lumayan lama. Sebenarnya ada bis yang tersedia tapi berkali-kali bertanya ke orang Gw bingung karena kendala bahasa. Kendala bahasa dan penerbangan yang delay, jadi penyebab Gw hampir 1 jam di bandara. Namun, akhirnya Gw berhasil naik bis no. 86 yang waktu ngetemnya lama sekali.
Di Google Maps, jarak bandara dan tempat pemberangkatan hanya 45 menit tapi karena bis ngetem, alhasil Gw baru sampai pukul 22.15 sedangkan waktu berangkat 22.00.
Raut muka kesal kentara sekali saat Gw menyebut tujuan bis Gw di tempat keberangkatan. Salah satu laki-laki langsung memberikan Gw helm dan meminta Gw naik motornya. Ternyata bis sudah berangkat dan terpaksa harus dikejar dengan motor. Selama di jalan, si Bapak mengeluh keterlambatan Gw dan nomor Gw yang tidak bisa dihubungi. Gw merasa tidak enak karena Gw juga tidak mengerti kenapa tidak ada telepon yang masuk dan baru ada pemberitahuan telepon masuk ketika Gw sampai di tempat pemberangkatan. Gw pun mengucap maaf berkali-kali.
Bis berhasil dikejar. Setelah melepas sepatu dan memasukkannya ke plastik kresek yang diberikan supir bis, Gw bergegas masuk ke bagian belakang bis yang masih kosong. Dengan harga sebesar Rp. 153,381, kondisi bis tidak bisa dibilang baik atau buruk terlebih Gw banyak menghabiskan waktu dengan tidur. Gw memesan melalui Bookaway,
Pukul 6 pagi akhirnya sampai di Sa Pa. Dingin banget! Sa Pa masih gelap dan diselimuti kabut tebal. Sambil menahan dingin, Gw berjalan menuju Sun Plaza. Gw berhenti sebentar saat melewati danau. Pemandangannya bagus. Sesekali Gw melihat sekitar karena was-was. Setelah melewati danau, masuklah ke kawasan pertokoan. Beberapa orang sedang berbenah untuk membuka tokonya. Gw memutuskan untuk sarapan di salah satu restoran yang sudah buka.
Gw menyantap pho & kopi vietnam. Senang bisa mencicipinya di negara asalnya. Kopinya datang bersama dengan lilin kecil supaya kopi tetap hangat. Gw tidak terlalu menikmati karena masih berusaha beradaptasi dengan dinginnya cuaca. Apalagi Gw mempunyai alergi dingin. Gw cek aplikasi di HP dan ternyata suhu 8°C. Jauh berbeda dengan suhu yang selama ini Gw amati sebelum berangkat yakni rata-rata 13°C.
Gw kembali melanjutkan perjalanan setelah yakin agak bisa beradaptasi dengan dingin dan saat itu sudah pukul 7 lewat. Sesampainya di Sun Plaza, sudah banyak orang yang antri tapi ternyata itu untuk yang sudah booking. Pembelian tiket umum baru dibuka pukul 8.00. Lima belas menit lagi Gw gunakan untuk sikat gigi & cuci muka di toilet hehe.
Tiket dijual dibagi menjadi 4 bagian :
- Tiket kereta (PP) : VND 99,000 (Rp. 65,000)
- Tiket cable car (PP) : VND 737,000 (Rp. 489,000)
- Tiket kereta turun : VND 79,000 (Rp. 52,000)
- Tiket kereta naik : VND 99,000 (Rp. 65,000)
Arsitektur bergaya Eropa karena pernah dijajah Prancis |
Salah satu altar Buddha |
Kabut mulai hilang ketika turun |
Penjual souvenir |
Quan Am dalam bahasa Vietnam |
Jalur kereta menuju/ dari Sa Pa. |
Melewati danau menuju tempat pemberangkatan bis |
16/06/22
Purwokerto dan Nikmatnya Makan Tempe di Puncak Gunung Bismo
Destinasi awal perjalanan ini adalah Prau tapi sayang sedang ditutup jadi gunung Bismo sebagai gantinya. Kelelahan karena sebelumnya bekerja, Gw ketiduran dan bangun sekitar pukul 4. Kemudian packing dengan kilat. Cukup sekitar 15 menit saja sampai semua barang masuk ke dalam carrier.
Dengan menggunakan ojek online, Gw perkirakan jarak tempuh dari rumah sampai stasiun Senen tidak sampai 30 menit di pagi buta ini sehingga masih ada sisa waktu 20 menit sampai kereta berangkat.
YM, salah satu teman perjalanan, sudah sampai di stasiun sedangkan RF, memberi kabar kalau Dia baru bangun dan bahkan belum packing. Yah. Dan I belum ada kabar. Ketiga orang ini belum saling kenal jadi mau tidak mau Gw yang mengkoordinasi mereka semua.
Gw dan YM sampai lebih awal di stasiun Purwokerto. Kami menyantap sepiring mendoan sambil menunggu I. I naik kereta yang berbeda dengan kami. I menghampiri kami bersama temannya, F. Dengan menumpang mobil F, kami diajak ke rumahnya untuk makan siang. Setelah itu diajak ke Baturraden, melihat-lihat sebentar sampai kemudian diantar ke terminal untuk naik bis ke arah Wonosobo. Terima kasih untuk F! Senang bisa mendapat teman baru :D
Bis menuju Wonosobo datang lebih cepat dari dugaan sesampai kami di terminal. Hati sudah senang berharap bisa segera sampai di penginapan tapi nyatanya kami harus menunggu lebih dari 30 menit sampai bis berangkat.
Perjalanan ditempuh selama 3 jam dengan bangku yang sempit, udara dingin karena hujan dan harus memangku carrier. Melelahkan tapi menyenangkan.
Tiba di Wonosobo pukul 21.00. Syukurnya masih ada elf yang beroperasi. Setelah tawar-menawar dengan supir elf, kami diantar menuju Dieng dengan membayar ongkos sebesar Rp. 220.000.
Elf menembus kegelapan karena minimnya penerangan. Jika bertemu rumah warga barulah ada lampu.
Dan Gw mulai merasa dingin sampai menggigil! Belum makan malam pula.
Begitu selesai merapikan barang di kamar penginapan, kami bergegas mencari makan malam. Gw memilih untuk menyantap mie rebus. Kali ini ditambah nasi. Entah kapan terakhir kali makan mie pakai nasi. Pengetahuan akan gizi dan bertambahnya usia membuat nasi dan mie menjadi paduan yang haram untuk disantap.
RF memberi kabar baik. Akhirnya dia menyusul menggunakan bis dari Kemayoran dan sudah sampai Cirebon. Diperkirakan sampai di Dieng pukul 6 pagi.
Akhirnya Gw, I & YM naik duluan. Kami memilih jalur via Sikunang. Menuju basecamp kami menyewa ojek. Pendakian dimulai setelah melewati rumah-rumah warga dan kebun.
Trek gunung Bismo tidak terlalu sulit untuk pemula. Petunjuk jalur juga jelas. Beberapa kali kami berhenti untuk melihat pemandangan yang indah. Juga untuk menikmati ketenangan dan udara sejuk yang susah didapat di ibukota.
Kami beruntung jalur ini tidak licin karena hujan |
Gunung Bismo punya beberapa puncak. Di puncak Tugel, kami makan bekal yang dibawa RF yakni gorengan. Yang istimewa ya tempe kemul. Tempenya kecil tapi kok tidak habis-habis. Tapi tak apa, jadi cemilan sembari ngobrol dengan topik yang juga tak habis-habis.
Kami melanjutkan perjalanan kembali. Kabut mulai tampak. Kami memutuskan hanya sampai puncak Indraprasta. Terpaksa deh berpose dengan tidak ada pemandangan karena tertutup kabut.
Di puncak Indraprasta, kami bertemu dengan 2 rombongan lain. Bahkan kami semua sempat berfoto bersama padahal baru kenal ya :D
Sebelum turun, kami menyalakan kompor dan menyeduh kopi. Lagi-lagi ditemani gorengan.
Tentu saja kami mengambil banyak dokumentasi perjalanan. Merekam momen sebaik-baiknya selain dalam memori otak (dan sekarang Gw juga merekamnya dalam bentuk tulisan hehe).
Perjalanan turun tidak ada kendala. Malah lebih banyak cerita dan "ceng-cengan". Kami berpapasan dengan petani-petani yang sedang mengangkut kentang. Memang Dieng dikenal dengan kentang sebagai hasil pertaniannya. Untuk melancarkan pekerjaannya, beberapa mengendarai motor trail.
Sesampainya di desa, kami menghubungi ojek yang yang tadi mengantar kami pergi.
Perjalanan kembali dilanjutkan menuju Wonosobo. Kami akan bermalam di sana sebelum bertolak ke Jogja. Bis yang kami naiki sangat penuh. Badan bis sudah nyaris timpang. Belum lagi drama isi bensin. Di kondisi yang tidak kondusif, Gw curi dengar seorang ibu yang menasehati pengamen yang masih muda. Dalam bahasa Jawa beliau berkata lebih baik coba cari kerja biar sederhana daripada mengamen.
Berjarak dari 2 km dari alun-alun Wonosobo tempat kami menginap. Penginapannya sederhana, murah tapi bersih dan rapih. Sisi belakang kamar menghadap ke sungai serta pemandangan Dieng. Termasuk sangat mewah apalagi badan sudah lelah. Tak lupa kami memesan mie ongklok untuk makan malam. I sudah tidak bersama kami karena harus lanjut ke Purwokerto, kembali ke rumah temannya.
Pagi hari, Gw dan YM berjalan-jalan di alun-alun. Lalu membeli susu murni. Sementara RF masih di penginapan. Lalu sekitar pukul 12 siang, Gw dan YM memesan travel untuk ke Jogja. RF berangkat lebih lambat. Di sinilah kami berpisah, melanjutkan perjalanan masing-masing.
Gw ke Jogja, rencananya akan me time dan bekerja karena tidak cuti. YM ke Jogja bertemu keluarganya dan akan melanjutkan perjalanan ke Gresik. I masih di Purwokerto dan akan menuju ke Jogja begitu juga RF akan menuju Jogja tapi dengan agendanya sendiri.
***
Mengambil istilah yang digunakan jaman sekarang : "healing". Menghabiskan waktu di alam dan bertukar cerita merupakan salah satu jalan untuk healing.
Namun, sejatinya healing sejatinya bisa didapat dari kedamaian dari dalam diri. Melihat apa yang muncul dan pergi di dalam pikiran. Sehingga healing bukan menyoal tempat tapi caranya.
04/05/22
Sehari di Tana Toraja
1. Kaana Toraya Coffee
pintu masuk Kaana Toraya |
2. Pasar Tedong Bolu
penjual kerbau menanti pembeli |
3. Ke'te Kesu'
jalan masuk menuju goa |
wadah biaya masuk goa ditaruh di depan goa |
4. Kuburan Batu Lemo
pantollo pamarrasan |
31/03/22
Cita-citaku ingin jadi simbah2 yg suka naik sepeda & punya warung soto
Jakarta, 31 Maret 2022. Ditulis saat sedang bekerja sembari berkontemplasi tentang tujuan hidup.
12/03/22
Bersepeda ke Selopamioro
Semenjak bisa mengendarai sepeda, agenda Gw tiap berlibur adalah bersepeda. Setelah Bali, kali ini Gw jajal bersepeda di Jogja. Sebuah manifesting yang terwujud waktu melihat media sosial orang-orang yg bersepeda di alun-alun kidul dan sebuah komunitas sepeda di Jakarta yang bersepeda ke Selopamioro.
Komunitas inilah yang menginspirasi destinasi bersepeda Gw kali ini yakni Selopamioro.
Selopamioro merupakan sebuah desa di wilayah Bantul. Gw tertarik karena wilayahnya yang asri. Sepertinya seru ya bersepeda melewati sawah-sawah, lihat sungai dan melewati jembatan.
Jaraknya juga tidak terlalu jauh. Kalau lihat rute dari Stravanya teman yang sudah pernah ke sana sih cuma 40 km pulang-pergi. Dia berangkat dari Prawirotaman yang artinya jarak tempuh tidak akan berbeda jauh karena penginapan Gw ada di Mantrijeron. Terakhir kali jarak terjauh Gw adalah 60 km. Jadi, ini masih cetek lah hehe.
Gowes belum jauh, sepeda Gw tiba-tiba ada yang aneh. Syukurnya tidak lama langsung ketemu bengkel sepeda. Jadilah Gw baru mulai jalan pukul 9. Gw lumayan ngebut di awal apalagi rute yang Gw lewati jalan besar tapi tidak padat merayap.
Gw sempat salah baca maps yang udah Gw simpan sebelumnya dan karena males untuk benerinnya, Gw memutuskan untuk cari jalan lain.
Awalnya masuk perkampungan tapi begitu ada sawah rasanya senang banget! Di Bali juga ngelewatin sawah sih tapi ini luas banget, sejauh mata memandang. Makin semangat Gw gowesnya untuk sampai tujuan. Sehabis dari persawahan, masuk ke wilayah yang kiri kanannya pohon semua sampai agak gelap. Wih seru! Maklum ya jarang-jarang yang seperti itu di Jakarta hehe.
Melewati jembatan gantung pengkol Imogiri tapi ternyata lihat di maps lebih mudah kalau lurus terus dari jembatan. Alasan aja sih supaya dua kali lewat jembatan hehe. Seru sih!
Gw berhenti sebentar di warung untuk makan siang. Lagipula koneksi internet tiba-tiba hilang.
Sembari makan mie instan rebus, Gw bertukar cerita dengan "Mas-mas" kurir yang juga lagi ngopi. Begitu Gw cerita soal klitih yang ramai di media sosial, si Mas ini ketawa. Taunya dia dulu sempat ikut karena peer pressure di sekolahnya. "Sekolah Saya yang terkenal dengan tattoo hello kitty itu lho, Mbak", katanya agak malu tapi ada sedikit nada bangga.
Waduh! Untung ga sok tahu dan ngomong aneh-aneh tadi soal klitih.
Biarpun koneksi internet tidak ada tapi banyak warung yang menyediakan WIFI termasuk warung tempat Gw makan. Numpang WIFI sebentar lalu lanjut gowes lagi.
Kurang dari 30 menit sampai deh!
Gw mengambil rute yang berbeda untuk jalan pulang supaya bisa lihat sisi yang lain. Brongkosnya Kedai Rukun jadi motivasi gowes selanjutnya. Sampai di Kedai Rukun, di Strava total jarak tempuh 61 Km.
Sepeda sebagai moda transportasi selama di Jogja sangat Gw rekomendasikan, karena :
1. Minim diklakson.
Betapa stresnya gowes di Jakarta. Sudah minggir, sudah hati-hati tapi tetap diklakson! Kondisi ini tidak Gw temui di Jogja. Mungkin ini karena memang sudah kebiasaan masyarakat Jogja jarang membunyikan klakson. Tapi Gw ada dua kali diklakson oleh mobil pribadi. Waktu Gw lihat plat nomornya hmm plat B. Plat nomor wilayah mana ya itu...
2. Banyak pengendara sepeda
Pengendara sepeda beragam dari yang muda sampai simbah-simbah, dari sepeda hits sampai ke sepeda tua. Ini didukung juga dengan jalanan yang ramah untuk pesepeda. Seperti di kota Jogja, misalnya disertai rute yang aman untuk pesepeda. Banyak rambu yang bertuliskan rute alternatif sepeda. Amsterdamnya Indonesia itu Jogja ya jangan-jangan?
3. Sewa sepeda murah
Sebagai perbandingan, biaya sewa seminggu di Jogja sama dengan biaya sewa 3 hari di Bali. Ini sudah termasuk lampu depan & belakang, helm, gembok juga biaya antar-jemput.
Lain kali kalau Gw punya kesempatan bersepeda ke Jogja, Gw akan ke Nawang Jagad. Atau kalau kemampuan sudah mumpuni, mau ke pantainya.
Semoga ya!
31/05/21
Short Escape : Pulau Mahitam, Lampung
Di tengah gempuran kerjaan, Gw memutuskan berangkat ke Lampung. Packing, beli tiket ini itu juga booking hotel Gw lakukan mendadak. Destinasi Gw tentukan saat di bis menuju Pelabuhan. Yang penting sampai dulu di Lampung!
Biarpun solo traveling, Gw ga pernah merasa kesepian. Seperti saat di kapal, bosan dalam perjalanan Gw ditemani ngobrol oleh seorang Ibu juga anaknya yang masih kecil.
Gw sampai di Bandar Lampung sekitar pukul 18.00
Langit senja Bandar Lampung |
Destinasi pertama : Kedai Tang
Gw pesan nasi campur babi. Enak biarpun dagingnya agak keras. Dan lucunya, bisa-bisanya mati listrik pas Gw makan. Untung udah mau selesai.
Destinasi kedua : Cikwo Resto & Coffee
Gw tau tempat ini dari hasil googling. Dari luar, tempatnya ga terlalu luas tapi di bagian belakangnya outdoor dan ada live music.
Playlistnya asik juga |
Aksara Lampung di tangga Cikwo Resto |
Lalu Gw kembali ke hotel dan menyelesaikan pekerjaan sampai lewat tengah malam.
Cuma bisa berharap kondisi badan Gw tetap fit karena besok juga harus bangun pagi untuk ke pantai.
Destinasi ketiga : Pulau Mahitam/ Maitem
Pulau ini masuk wilayah Kabupaten Pesarawan. Untuk menuju ke pulau ini banyak penyewaan perahu. Bisa sekali jalan atau bolak balik. Beruntungnya, Gw dapet harga reguler sudah PP dan tanpa penumpang lain. Ga harus nungguin sampai perahunya penuh.
Meskipun dalam waktu yang serba terburu-buru, tidak mengurangi keasyikan perjalanan ini. Gw tetap bisa menikmati baca buku di pinggir pantai sambil minum kopi sachet-an yang Gw beli dari pedagang sekitar. Selain berkenalan dengan orang baru, buku bisa dijadikan "teman perjalanan" saat solo traveling.
Destinasi keempat : Pelelangan Ikan Lempasing
Biarpun waktu mepet tapi Gw sempet iseng mampir ke pelelangan ikan di pesawaran. Sayangnya, karena kesiangan jadi pelelangan sudah bubar. Tapi masih ada beberapa bapak-bapak yang mancing. Gw menyempatkan ngobrol dengan bapak-bapak ini. Maaf ganggu mancingnya ya Pak hehe.
Destinasi keenam : Amurwa Bhumi Graha
Niat awal Gw, Gw mau mencoba mie Khodon tapi ternyata tutup dan dekat dengan mie tersebut ada Vihara. Jadi, apa salahnya Gw coba berkunjung. Viharanya besar. Hasil dari ngobrol dengan penjaga Vihara, vihara ini akan direnovasi menjadi lebih besar lagi.